Minggu, 07 Januari 2018

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN DAN PERIORITAS PEMBANGUNAN NASIONAL


Indonesia   yang   memiliki   wilayah   yang luas, tidak hanya membutuhkan perencaaan pembangunan yang makro, tetapi juga secara sektoral yang tetap sinergis satu sama lain. Koordinasi antar wilayah dan pembangunan berbagai sektor sangat perlu dengan memperhatikan faktor sosial ekonomi, pertumbuhan ekonomi, administrasi   pembangunan   da sosial   politik negara (Soesastro, 2005). Pencapaian tujuan negara Indonesia tentu harus melalui perencanaan yang menyeluruh dan sejalan dalam setiap bidang dari tataran nasional hingga daerah. Perencanaan nasional merupakan sebuah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumbedayyantersediayandituangkan dalasuatdokumesebagapanduabagi para pelaku pembangunan untuk mencapai tujuan negara (Nurcholis et al., 2007). Dalam menjalankan strategi pembangunan sebuah negara dibutuhkan alur yang jelas dan target yang terukur sehingga nantinya tujuan dari sebuah negara tersebut dapat terwujud. Oleh karena itu, suatu sistem dalam perencanaan pembangunan nasional sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945-yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara-dalam waktu relatif singkat (1999-2002) telah mengalami
4 (empat) kali perubahan. Kemudian, sebagai salah satu konsekuensi amandemen ini dikeluarkanlah Undang-Undang Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No. 25 Tahun 2004, LN Tahu200No104, TLNo4421).    UU No. 25 Tahun 2004 dianggap sebagai dasar perumusan kebijakan sebagai pengejawantahan cita-cita Indonesia. Dalam Penjelasan Umum UU No. 25 Tahun 2004, undang-undang ini dinyatakan sebagai pengganti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dimana disebutkan dalam penjelasan umum pengelolaan pembangunan nasional mengalami perubahan sebagai berikut:
1.        penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, (APBN);
2.        ditiadakannya Garis-garis Besar Haluan Negara         (GBHN)     sebagai     pedoman penyusunarencana     pernbangunan nasional; dan
3.         diperkuatnya  Otonomi  Daerah  dan desentralisasi pemerintahan      dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.        Keberadaaan GBHN dan UU No. 25 Tahun
2004, tentu tidak sama dari aspek kedudukan serta fungsi. GBHN sebenarnya memberikan landasan bagi visi dan misi Indonesia secara jangka panjang, yanmantidadapadiketemukadalaUU No. 25 Tahun 2004. Walaupun demikian, UU No.25 Tahun 2004 dalam Pasal 13, mengamanatkan penetapan rencana pembangunan nasional menjadproduhukum  sehinggmengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Sebagai aturan pelaksana dari UU No. 25 Tahun 2004 sebagai perwujudan perencanaan bottom-up adalah PP No. 40  Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyusunan   Rencana   Pembangunan   Nasional (LN Tahun 2006 No. 97, TLN No. 4664) yang memperjelas fungsi dari Musrenbang. Selain itu, rencana pembangunan jangka panjang Nasional/ Daerah ditetapkan sebagai Undang-Undang/ Peraturan     Daerah,     rencana     pembangunan jangka menengah Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/Kepala Daerah, dan rencana pembangunan tahunan Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/ Kepala Daerah. Maka sebagai perwujudan dari delegasi UU No. 25 Tahun 2004, diundangkanlah Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (LN Tahun 2007 No. 33, TLN No. 4700). Dalam penetapan Undang-Undang/ Peraturan Daerah akan sangat memakan waktu mulai dari pelaksanaan Musrenbang Kelurahan sampai Musrenbang Nasional serta penggodokan undang-undang/peraturan daerah tersebut.
Pada dasarnya, UU No. 25 Tahun 2004 sebagaimandisebutkadalaPasal  2  ayat (4), memiliki tujuan untuk mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan, menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah,
 antar ruang antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah. Keberadaan undang-undang ini, diharapkan dapat menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan serta   mengoptimalkan   partisipasi   masyarakat; dan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan, sebagaimana cita-cita dalam reformasi Indonesia. Belakangan diketahui, perencanaan pembangunan yang desentralistik juga malah menghambat pembangunan nasional dengan berpusatnya kekuasaan pada kelompok elit lokal yang berusaha mengkangkangi hukum yang ada (Nurcholis, 2003: 45). Keberadaan  UU 25 Tahun 2004 apabila dikaitkan dengan UU No. 32 Tahun 2004  tentang  Pemerintahan  Daerah  (LN  Tahun 2004 No. 125, TLN 4437), sangat mendesak untuk diteliti keberlakuannya, karena dengan adanya otonomi daerah sekarang ini akan berdampak pada pola pengambilan kebijakan yang dulunya terpusat menjadi terbagi pada masing-masing daerah. Sehingga kebijakan nasional adakalanya harus diterjemahkan ulang oleh daerah atau bahkan perencanaan nasional tersebut telah didahului oleh daerah. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi kebijakan ganda dengan anggaran yang berganda juga. Oleh karena itu, mengingat beberapa kemungkinan bias dalam perencanaan pembangunan secara nasional ini, maka sangat dibutuhkan suatu pengkajian mendasar mengenai konsep perencanaan pembangunan nasional, khususnya yang berkaitan nantinya dalam masalah hukum dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
Dalam KUH Perdata Indonesia tidakbanyak mengatur tentang kontrak konstruksi. Kebanyakan ketentuan tenatang hukukonstruksi tersebut bersifat hukum  mengatur, jadi umumnya  dapat dikesampingkan oleh  para  Pihak. Adapun prinsip-prinsip  yuridis  mengenai  kontrak  konstruksi  yang  terdapadala KUH Perdata adalah sebagai berikut :
1.    Prinsip  Korelasi  antara tanggung  jawab para  pihak  dengan kesalahan dan penyediaan bahan bangunan.
2.                Prinsi ketegasa Tanggun jawab  Pemborong  jika  bangunan  musnah karena            cacat dalam penyusunan            atau    faktor tidak   ditopang         oleh kesanggupan tanah.
3.    Prinsip Larangan Merubah harga  kontrak.
4.    Prinsip kebebasan pemutusan kontrak secara sepihak  oleh  Pihak Bowheer.
5.    Prinsip kontrak yang melekat dengan Pihak Pemborong.
6.    Prinsip Vicarious Liability (Tanggung  Jawab Pengganti)
7.    Prinsip Hak retensi

              Sedangkan prinsip hukum pemborongan dalam undang-undang jasa konstruksi No. 8 Tahun 1999 berdasarkan pada azas-azas kejujuran dan keadilan, Azas manfaat, azas keserasian,keseimbangan, kemkitraan serta azas keamanan dan keselamatan dan kepentingan masyarakat dan Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar